Sunday, July 06, 2014

Dalam mimpi

Jalan berkelok.
Hutan.
Tentang aku.
Tentang kamu.
Tentang lalu.

Tetiba hati ini..
Rasalah mimpi.
Teringat lagi.

Menghilang sajalah.

De-

Monday, April 14, 2014

Cerita Raka - Nambah Tempat Terapi Lagi

Mulai awal bulan April ini, ceritanya nyobain nambah jadwal terapi wicara buat Raka. Tapi gak mau ditempat yang selama ini Raka terapi (di JMC). Denger-denger dari ibu-ibu yang anaknya terapi di JMC juga, mereka juga terapi di klinik MH. Thamrin namanya, lokasinya didepan BTC bekasi. Kliniknya memang lebih fokus ke terapi wicara dan fisioterapi. Gak ada terapi SI atau OT seperti klinik tumbang kebanyakan. Tapi lagi katanya sih bagus sistem pengajarannya. Khususnya untuk terapi wicaranya. Karena kepala terapis disitu memang khusus terapis wicara. Akhirnya saya dan ayahnya raka memutuskan untuk mencoba tempat terapi tersebut. Lokasinya dipinggir jalan dan searah dengan arah pulang kerumah memudahkan kami menjangkau tempatnya, waktu itu kami kesana setelah terapi raka di JMC, karena si ayah kebetulan ijin masuk kerja setengah hari, jadi sekalian deh dateng ke klinik itu. Tempatnya kecil, hanya sebuah ruko yang dijadikan klinik. Ruang terapinya pun sangat kecil, hanya sekitar 2x3m lah. Cukup untuk satu anak dan satu terapis duduk tanpa lari-lari. Hihihi. Dan ajaib, Raka bisa masuk ruangan terapi tanpa ditarik-tarik. Nyelonong aja gitu masuk ruangan masih pake sepatu pula. Beda banget sama kalo terapi di JMC.

Awalnya kami melakukan sesi observasi dulu dengan kepala terapis disana, namanya Ibu Imbang. Yah seperti observasi ditempat lain yang sebelumnya kami beberapa kali lakukan. Kami ditanya ini itu seputar riwayat sedari saya hamil hingga aktivitas keseharian Raka dirumah. Hasilnya, lagi-lagi seperti yang kami duga, karena faktor lingkungan dan kurangnya sosialisasi dengan orang banyak yang membuat sifat autistik Raka berkembang. Yah itu sih hasil observasi dari si Ibu Imbangnya yang melihat sekilas barangkali. Ntah dari segi medisnya mah. Toh sampai saat ini, saya dan ayahnya Raka memang belum mencoba melakukan tes medik untuk Raka. Pengen sih, tapi kebentur biaya yang mihil sangad. = ='

Akhirnya, setelah sesi observasi, Raka dikasih dua kali jadwal terapi wicara. Untungnya jadwalnya dihari yang sama dengan terapi di JMC, cuma beda jam aja. Biar sekalian gitu, gak tiap hari banget. Seminggu 3 kali terapi aja udah cape banget kayaknya. Sekarang malah ditambah jadwal lagi. Hehehe. Semangat ya Raka, biar cepet bisa ngomong. 

Mudah-mudahan ada hasil dibalik jerih payah kami ini. Walau sebenarnya faktor keseharian Raka dirumah juga masih belum ada perbaikan (dari diri sayanya). Kadang saya masih terlalu cuek sama Raka dan membiarkan Raka beraktivitas sendiri, masih ngasih main hape, nonton video di tv atau laptop. Kadang susah membagi waktu untuk bermain sama Raka dan mengurus pekerjaan rumah. Malah kadang kalau udah mumet sama semuanya, saya malah asyik main game di hape, ditinggal aja semua kerjaan dirumah gitu. *kacau nih bunda*. Jadi merasa bersalah. *tapi nanti kesalahannya diulang lagi diulang lagi diulang lagi*

T.T

Anyway, semoga gak sia-sia nambah terapi buat Raka ya. Biarin ayah sama bunda yang berjuang untuk Raka. Kami akan mencoba menjadi lebih baik. Tolong sabar ya nak. Suatu hari nanti, pasti. Bunda juga akan selalu bersabar menunggu Raka berkata, "Bunda... I love you!".

Love you more, Raka Fathir Dhiyaurrachman.

Saturday, March 22, 2014

Khilaf

Saat hati berkata lelah
Namun keadaan tidak membiarkannya
Dinding ini saksinya
Bisu menatap wajah basah
Namun tak henti juga air mata ini mengalir.

Aku bersalah
Aku berdosa
Aku khilaf

....

Monday, March 03, 2014

Thr3e

Three years ago. At 1.11 pm.
He's jumping out of my belly.
A little red man with a tiny hand holding my finger.
He's looking at me like want to say thank you for giving him a birth.
No, my dear son..
It's me who should said thank you for being my special son. Thank you for choose me as your mom. Thank you for giving me a priceless moments every single day. And I'm sorry for being a cold-hearted and careless mom.
I'm really sorry.

Happy birthday my adorable son.
You're always be my special boy.
♥ My SUPERBOY ♥

Saturday, February 15, 2014

Sayangi Dirimu dan Orang Sekitarmu

Well, beberapa waktu lalu ramai yang men-share link di beberapa sosmed. Sebuah postingan blog yang diberi judul "Surat terakhir untuk kaka". Isinya tentang orang tua yang kehilangan anak batitanya yang masih berusia 18 bulan karena masalah kesehatannya. Dilihat dari tanggal postingannya tahun 2012, sudah 2 tahun lalu, namun sekarang kembali tersebar dan membuat gempar para orang tua khususnya. Isinya menyentuh, sungguh. Saya menangis membacanya. Betapa tidak, seakan tertampar dengan kenyataan bahwa penyebab sakitnya adik Queena tersebut karena tercetus dari lingkungan dan salah satunya karena asap rokok.

Miris.

Seakan berkaca pada kenyataan, kami juga tinggal di dalam lingkungan yang penuh dengan asap rokok.  Saya akan bercerita tentang kami sekeluarga dan hubungan akrab kami dengan rokok.

Jujur saja, saya pun perokok berat. Tapi itu dulu. Saya merokok sejak usia 15 tahun. Ngga percaya? Terserah, tapi itu benar. Dulu saya merokok bukan karena ingin dianggap gaul dan keren. Tapi otak kecil saya sudah diajak berpikir bahwa perokok pasif lebih berbahaya dari pada perokok aktif. Makanya lebih memilih mending jadi perokok aktif aja sekalian. Toh resikonya sama aja. Kenapa saya berpikir begitu? Karena sejak saya kecil, bahkan mungkin sebelum saya dikandung oleh ibu saya, beliau adalah perokok. Begitupun ayah saya. So, sedari lahir pun di rumah saya sudah terbiasa dengan asap rokok. Hingga sekarang. Tapi sayangnya semua anggota keluarga saya masih utuh. Belum ada yang mati karena rokok.

Damn.

Dulu saya terbilang gak terlalu peduli dengan cemoohan orang yang melihat saya 'berjilbab tapi merokok'. Demi Allah, kalau mengingat masa itu, saya malu. Sungguh. Bahkan si akang sebelum mengenal saya, bukan seorang perokok. Tapi begitu kami mulai dekat, dia pun jadi perokok hebat. Didukung dengan lingkungan kawan-kawan kantor dan kampus dengan kelas kuliah malam, yang selalu ada saja kesempatan beralasan menghangatkan diri dengan isapan rokok. Astagfirullahaladziim.

Setelah menikah, saya pun tidak ada rencana untuk berhenti merokok. Begitu pun suami, walau si akang sempat mulai menyatakan  ketidaknyamanannya dengan rokok. But, we're keep smoking. Until those things called test pack gives us two red lines. Setelah menunggu sekitar 6 bulan pernikahan kami yang selalu berbuah kegagalan setiap liat hasil test pack.
Yeap, saya berhenti merokok begitu hasil test pack menyatakan positif (padahal sejam sebelumnya saya masih sempat merokok karena tegang melihat hasil test  packnya, yang berarti saya merokok dalam keadaan HAMIL).

Totally stopped smoking. Si akang pun komit, ga ngerokok juga baik di rumah atau di kantor. And he really did it, so do I (Ya lah, kan lagi hamil). Dan sejak itu, saya sebel banget deket-deket orang ngerokok. Apalagi pas awal hamil itu saya harus pp bekasi-kedoya pake bis. Dan kalo lagi ga beruntung dapet bis AC, bis ekonomi isinya perokok semua. Pusing banget. Di rumah pun begitu, sebisa mungkin saya menjauh kalau papa atau mama lagi ngerokok, bahkan saya marah-marah kalau mereka ngerokok didalem rumah (saya dan si akang saat itu masih numpang dirumah orang tua saya). Tapi susah lah ngelarang mereka. Tetap aja ngeyel. Kalo udah begitu, saya bisa apa? Cuma diem dan kesel dalam hati aja.

Begitu juga setelah Raka lahir, emang orangtua saya ngga ngerokok didalam rumah tapi diteras rumah. Namun sayangnya letak teras itu tepat didepan kamar kami. Dan kamarnya pake AC, jadi kalau mereka ngerokok diteras, asapnya tetap aja berasa loh masuk ke dalam kamar. Setiap mencoba untuk menjelaskan bahwa kamar kami kena asap rokok dari luar, mereka tetap bersikeras merokok. Akhirnya saya dan si akang cuma bisa diam saja. Sambil terus berdoa semoga tidak terjadi apapun dengan Raka dan kami tentunya yang setiap kali harus menjadi perokok pasif.

Beberapa bulan sebelum raka genap setahun, kami memutuskan pindah ke rumah kontrakan selagi menunggu rumah baru kami dibangun dan direnovasi. Saya cukup senang bisa jauh dari rumah orang tua, setidaknya biar bisa sedikit menghirup udara tanpa asap rokok. Hingga sekarang kami tinggal di rumah kami sendiri pun, Alhamdulillah tidak pernah tercetus untuk saya dan si akang untuk merokok lagi.

Hanya yang saya sesalkan, orangtua saya masih saja sampai sekarang tetap merokok. Masalahnya setiap jadwal Raka terapi, saya dan Raka selalu dijemput oleh mama/papa. Dan karena tempat terapinya deket rumah mereka. Mau ngga mau pasti harus nyimpang dulu sebelum dan sesudah terapi. Otomatis, Raka masih harus terpapar dengan asap rokok lagi. :(
Dan yang paling membuat saya cukup kesal adalah kebiasaan orang tua saya yang selalu menciumi Raka setiap mereka habis merokok. Bahkan kadang memaksa nyium Raka dengan dua jari mereka masih tersemat rokok yang menyala. Huffh..
Bahkan saya sendiri sekarang jadi jarang cium tangan kalau pamitan sama orang tua, karena itu tangan, badan, bahkan mulut mereka pun tercium aroma rokok cukup menyengat. *duh, durhaka ya saya* -_-'

Tapi saya bisa apa...?
Sampai sekarang pun saya masih ngga bisa memberikan mereka masukan positif tentang bahaya merokok. Bukan untuk mereka, tapi untuk Raka. Dan kami yang tidak merokok, tapi sangat mungkin ikut-ikutan diracun oleh nikotin.
Omongan apapun yang saya lontarkan seakan memantul entah kemana. Sesekali seperti mendengar, di lain waktu ya sudahlah..

Bahkan saya kadang selalu merasa keadaan Raka jadi autis itu akibat saya dulu merokok dan akibat orang tua saya yang merokok. Ya Allah... kalau itu benar, hukum saya Ya Rabb.. T.T

Entah harus bagaimana lagi saya bersikap. Belum menemukan cara yang tepat untuk membuat mereka berhenti merokok.
Apa harus menunggu hingga menyesal dulu kah? Harus terjadi sesuatu yang buruk dulu kah?
Ntah.. Saya belum bisa menjawabnya. Karena keadaan kami masih baik-baik saja hingga sekarang.

Semoga saja hal buruk itu tidak terjadi. Semoga kami dan mereka tidak perlu menyesal dikemudian hari. Semoga mereka dan kalian yang masih mendewakan rokok bisa segera tersadar.

Pikirkan masa depan anak-anak kalian. Pikirkan diri kalian sendiri.

Kita hanya bisa berdoa.